Badal Haji, Pengertian, Landasan Hukum dan Pelaksanaannya . Badal Haji sudah dibahas lengkap di dalam Mudzakarah Perhajian Nasional Tahun 2016 yang diikuti unsur Kementerian Agama, instansi terkait, dan Ormas Islam dengan tema “Dinamika Pelaksanaan Badal Haji” dilaksanakan di Hotel Aryaduta Jakarta pada tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2016 merumuskan beberapa hal sebagai berikut:
========================================================================
========================================================================
Badal haji didasarkan pada:
Artinya:
Dari Ibnu Abbas dari al-Fadl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra: “Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW., dia bertanya: “Wahai Nabi SAW., Ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya? Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW. mendengar seorang lelaki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah” (Labbaik/aku memenuhi pangilan- Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya: “Siapa Syubrumah?”. “Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya”. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah”, lanjut Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Badal haji diperbolehkan pada 2 (dua) kelompok, yaitu: al-ma’dlub dan al-mayyit.
Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulam tentangyang berkewajiban haji dan meninggal sebelum melaksanakannya:
1) Qaul jadid dan ini yang ashah: bahwa tidak boleh ada niyabah/pengganti untuk melanjutkan perbuatan haji yang belum selesai itu, karena apa yang sudah dilakukan oleh yang meninggal menjadi batal dengan terjadinya kematian. Dia wajib dibadalhajikan dari tirkah-nya, jika kewajiban haji baginya telah menjadi kewajiban tetap (wajib mustaqir); dan tidak wajib dibadalkan jika haji yang dilakukan adalah haji sunnah atau haji wajib yang belum menjadi kewajiban tetap, karena baru saat itu dia memiliki istitha’ah berhaji.
2) Qaul Qadim, bahwa dalam kasus seperti ini, boleh ada niyabah untuk melanjutkan haji mayyit yang belum selesai. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh membadalkan haji sunnah untuk orang yang sudah meninggal, baik oleh ahli waris maupun lainnya, kecuali ada wasiat dari yang meninggal dunia (Hasyiyah Jamal/2/387). Orang meninggal dunia, ketika di masa hidupnya tidak pernah memiliki istitha’ah berhaji, boleh dihajikan oleh siapa pun (Hasyiayah Jamal/ 2/387).
Orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali, bahwa orang yang akan menghajikan orang lain harus sudah haji untuk dirinya. Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain, sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas menyatakan:
Artinya:
Dari lbnu Abbas ra., bahwasannya Nabi SAW. mendengar lelaki berkata: “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk Syubramah”.
Nabi SAW. bertanya: Siapa Syubramah? Dia menjawab: Syubramah adalah saudaraku atau kerabatku. Nabi SAW. bertanya: Apakah engkau berhaji untuk diri Anda? Dia berkata: Bukan. Lalu Nabi SAW. bersabda: Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhaji untuk Syubramah. (HR. Abu Daud, lbnu Hibban, dan Hakim).
Meski demikian, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah wa al-Ziyarah, hlm. 39).
Jumhur sepakat, bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu (istitha’ah), sekali dalam seumur hidupnya. Istitha’ah itu meliputi: istitha’ah binafsih, yakni kemampuan melaksanakan haji sendiri karena yang bersangkutan selain memiliki kemampuan finansial juga kemampuan fisik; dan istitha’ah bighairihi, yaitu kemampuan melaksanakan haji dengan jasa orang lain (badal haji), yang berlaku bagi jamaah yang dalam kondisi al-ma’dlub dan al-mayyit.
Ulama berbeda pendapat dalam hal, boleh tidaknya melaksanakan badal haji. Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat mazhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya (Abd al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al- Arba’ah, Vol.I (Dar al-Fikr, 1986), 706-710; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, III/426.).
Artinya:
Apabila diperintahkan kepada kamu dengan suatu urusan, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu (HR. Bukhari)
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Hasan, Ishaq bin Rahawaib, dan Malik.
jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. al-Baqarah [2]:185).
Artinya:
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. al- Hajj [22]: 78).
Artinya:
Dari Muhjin bin al-Adra: Sesungguhnya Allah SWT. menghendaki kemudahan kepada umat ini dan tidak menghendaki kesulitan padanya (HR. Ibnu Murdawiyah).
Artinya:
Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW. tidak memilih di antara dua masalah kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara kedua hal tersebut, selagi bukan hal yang mendatangkan dosa (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah SWT. telah mensyariatkan agama, maka Allah SWT. menjadikannya mudah, toleran, dan lapang serta tidak menjadikannya sempit (HR. al-Thabrani).
=====================================================================
Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor: D/333/2016 Tentang Penyusunan Rumusan Hasil Mudzakarah Perhajian.
Penanggung Jawab : Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Anggota Tim :
Kisah Banjir Nabi Nuh AS. Allah SWT telahberfirman di dalam Al Qur'an surat Al-Ankabut ayat…
Generasi-Generasi Masa Lampau Disebut Dalam Al Qur'an. Allah SWTberfirman di dalam Al Qur'an Surat Ay-Taubah…
TIPS MENGELOLA OTAK & EMOSI KITA Agar Rumah Tangga Harmonis, Anak-anak Jadi Sholeh. Fakta-fakta otak…
Tips Berdamai Dengan Masalah: Membuka Sudut Pandang Baru Atas Masalah Agar Hati Menjadi Kokoh dan…
The Law of Attraction Membangun Sudut Pandang Baru Terhadap Masalah - Membuka Pintu Rezeki Langit…
Inilah Dzikir dan Doa Menjelang Tidur Bila Sedang Dirundung Masalah | Pakde Djon - Ikhtiar…